22 Agustus 2010

life is about facing the realities

ya! sebenernya banyak alasan yang menjadikan saya menulis! atau mengada-adakan alasan itu sendiri agar tetap kreativitas tetep jalan. pertama puasa, identik dengan menganggur di jam-jam segini ~buat saya, jam segini lagi laper-lapernya, padahal udah hari kesebelas, tapi perut masih aja ngaco jamnya~, kedua mungkin saya lagi online di warnet ~kapan lagi bisa berbetahbetah disini? walau belum mandi tapi takada yang peduli, saya baru saja nganterin titipan dari ibu buat om di pBg beberapa jam yang lalu, dan jujur emang butuh 36' buat ngumpulin remah-remah ngaco yang berserakan di dalam kepala.~

hidup adalah bagaimana menghadapi kenyataan
bab yang hampir lupa ditulis, oleholeh dari jalanjalan kemaren.
yang adalah sebuah alesan, yang telah saya pahami dengan amat sangat mengapa semua orang menuntut saya untuk sukses. sebelum itu? saya selalu berkata pada diri sendiri 'ah, semua ada jalannya, jalani aja, seloowww...' dan urusan 'selow-menyelow' menjadi trade mark saya beberapa tahun ini.
sejak awal kuliah ibu saya selalu ada katakata: 'bikin bangga keturunan emak ~alm.nenek dari ibu~ biar derajat orang kita sekeluarga bisa keangkat, biar engga malu dibawa kemanakemana.' dan beberapa kalimat lain yang intinya sangat amat mengharapkan saya agar menjadi orang sukses, agar menjadi 'beda' dari saudarasaudara saya yang lain ~selain bisa ngebantuin studinya aDe-aDe...~
deretan kalimat yang saya tanggepin dengan 'apa sih?', 'emang harus sebegitunya?', dan banyak nada miring dari kepala saya untuk kemudian saya sadar bahwa kalimat tersebut berarti banyak buat ibu saya dan keluarga ibu saya.

adalah fakta kalau saya relatif jarang berkunjung ke keluarga ibu dan saat sekalinya berkunjung kemarin banyak sekali kenyataan yang saya lihat, banyak kasus yang terjadi yang menjadikan saya berjanji pada diri saya : saya harus jadi orang sukses, saya harus jadi anomali, saya harus bisa mengangkat derajat keluarga.
ya?! banyak sekali kasus yang terjadi pada saudara-saudara saya, baik paman, bibi, uwa, ataupun saudara-saudara sepupu saya.

yang pertama berasal dari salah satu paman saya. dahulu beliau orang sukses, kemana-mana pasti bawa kendaraan sendiri. lihatlah ia sekarang? kabarnya beliau ditipu orang dalam usahanya, kondisinya kacaubalau.! anak perempuan semata wayangnya menikah dengan orang yang hampir semua orang dalam keluarga menganggapnya tidak mampu mengangkat derajat orangtua. ibarat kata 'menikah hanya bermodalkan cinta' dan semua orang menyumpah-nyumpah 'makan tuh cinta!'
paman pergi dari rumah tanpa kabar, bibi sibuk menelpon ke semua sanak saudara untuk menanyakan bagaimana kabar paman, kapan paman pulang dan belakangan diketahui paman lama tidak pulang. luntang lantung tidak jelas dalam keadaan kucel, kumel, dan yang jelas tante saya menangis sewaktu melepasnya dari rumah uWa saya sedang ada pesta hajatan kemarin.

satu kata paman saya yang bakalan saya ingat sampai mati : "A, LAKI-LAKI ITU KALAU DI HADAPAN WANITA MESTI PUNYA MODAL! KALO ENGGA, MAU DITARUH KEMANA HARGA DIRI KAMU?! DITARUH KEMANA MUKA KAMU?! MAU JADI LAKI-LAKI MACAM APA KAMU?!"
dan saya hanya bisa berdoa untuk paman saya agar diberikan yang terbaik.

yang kedua cerita dari saudara sepupu laki-laki saya.
konon dia dulu satu rumah ama uWa, ama istrinya juga. tapi sewaktu istrinya melahirkan anak, memutuskan untuk pindah ke rumah sebelah. karena dirasa banyak komentar-komentar miring dari uWa perihal dianya yang pulang sore, padahal istrinya tidak pernah mempermasalahkan. jadilah mereka pindah rumah.
baik sepupu laki-laki maupun sepupu perempuan saya adalah guru, meskipun masih tenaga honorer.
dan sangat menyenangkan kemana-mana disalami dengan khidmat oleh anak murid bila berpapasan. kedua-duanya menunda keinginan untuk melanjutkan sekolah, terpaksa karena hadirnya momongan. masalah ekonomi keluarga yang agak sedikit kacau juga karena sepupu laki-laki bercerita pada saya kalo dia habis ditipu orang. "kalo uWa sampai tau, habislah Aa ama Teteh!" begitu ungkapnya. padahal uang tersebut tadinya akan dipakai untuk melanjutkan sekolah salah satu dari mereka.

yang tidak terlupa adalah saat sepupu laki-laki saya bertanya, 'kapan pulang?' yang saya jawab 'ah, santai! paling hari rabu atau kamis' padahal hari itu masih minggu atau senin, saya lupa.
'Aa mau pinjem duit dulu, kamu ada apa engga? engga enak pinjem ama Aa ~menyebut sepupu laki-laki saya yang lain lagi~. kasian si Dede ~anak mereka~ susunya abis dari kemaren, belom bisa beli susu. soalnya Aa ama Teteh juga belom gajian. besok Aa pasti ganti, kan udah gajian.'
miris ngedengernya.! sambil ngasih bantuan serela-relanya dan dengan tampang-berusaha-untuk-tidak-memelas saya ngeliat punggung sepupu saya yang masuk ke minimarket, dan saya menunggunya, menghisap rokok dan berpikir : gini ya hidup?
pagi itu, depan minimarket, saya menunggu rombongan tamu mempelai wanita sepupu saya yang hari itu menikah, sengaja menjauh dari rumah pesta agar bisa mencuri-curi merokok ~mana mungkin saya merokok di depan hidung ibu dan saudara-saudara saya??~ sepulangnya, saya menggendong anak dari sepupu saya, berdoa buatnya : kamu harus punya kehidupan yang lebih baik!

cerita ketiga adalah cerita dari sepupu-lain-nenek.
ada dua orang, yang satu alumni geodesi ITB, satunya geologi UPN, keduanya sudah mapan, punya istri yang cantik-cantik, punya rumah yang termasuk kategori elit, mobil berjejer dan disayang orangtua-mertua.
mungkin kategori hidup seperti itulah yang dibayangkan semua orang, termasuk ibu saya, serta apa yang didoakan oleh uWa dan saudara-saudara saya pada saya sewaktu terlibat obrolan singkat sepulang dari hajatan di gedung kepada saya bahwasanya saya harus seperti ini-seperti itu dan menjadi demikian.
siapa yang tidak ingin punya istri cantik? rumah mobil mewah? hidup mapan?

bergaul dengan pelaku cerita ketiga membuat saya paham betapa akan sangat bahagianya ayah ibu dan saudara saya andaikata saya berada dalam posisi mereka. bukannya saya menjadi gila materi-gila harta-gila wanita, tapi jujur, saya hanya ingin melihat orangtua saya bahagia selagi mereka hidup.
melihat betapa pontang-pantingnya mereka membiayai saya dan aDe saya kuliah dan akan ada harga mati yang kelak harus dibayar oleh anak-anaknya kelak! ada harga dari sebuah kesuksesan...

dan saya sadar, mereka bukannya bertaruh, melainkan mereka hanya memberi saya kesempatan untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. kesempatan itu ada, selama berhari-hari saya lewatkan dengan keluhan dan kekacauan yang saya buat.
waktu saya tidak lagi banyak...

framing dari tokoh-tokoh di atas akan menjadi bagian dari cerita kehidupan mereka, kini dan nanti, bagian dari kehidupan yang dijalani oleh masing-masing individu, dan saya disini bukannya bermaksud menjelekkan keluarga sendiri. hanya mengajak berpikir, mereka punya kehidupan untuk dijalani. saya juga, dan seperti saya, kita kelak adalah bagaimana memanfaatkan kesempatan yang ada...

klise terlontar, dan saya malas menulis lagi kalau begitu.
mungkin akan lebih baik kalau saya berucap : apa kamu ingin kehidupan yang seperti itu?? ~merujuk ke yang mana saja, agar kita bisa menentukan arah~
terdengar seperti mimpi, tapi mungkin itu yang sedang dialami.

yang tersisa saat ini hanya doa untuk mereka, agar mereka memiliki kehidupan yang lebih baik untuk dijalani...
karena mereka adalah saudara-saudara saya...
agar yang berbahagia memiliki kehidupan yang bermanfaat untuk semuanya...
karena mereka adalah saudara-saudara saya...
agar mereka yang memiliki masa lalu kelam tidak terulang kembali di generasi selanjutnya...
karena mereka adalah saudara-saudara saya...
AMIN.

buat gW : semoga gW bisa ngasih sedikit uang saku ama ponakan-ponakan gW, anak-anak sepupu gW yang kalo diitung uda belasan dan seangkatan (rata-rata umur 3-5 taun!) kalo kita ketemu beberapa taun lagi!!
AMIN!

Tidak ada komentar: