4 Februari 2010

antara saya, ayah, dan kakek saya

lupakan sedikit obrolan tentang civitas akademika, kaderisasi, ataupun teori subduksi. kita membicarakan hal yang sederhana saja disini, sesederhana kehidupan orang-orang di desa, yang berbicara apa adanya, tidak perlulah hingga mulut berbusa dan berumit-rumit -paling muncrat, karena terlalu bersemangat!! :D-, tapi penuh makna, sejauh kita memaknainya.

and i've got this meaning, saya rasa demikian.

hari ini saya dan ayah saya bekerja berberes rumah, pekerjaan yang jujur bikin saya males mengerjakannya! tapi demi bakti kepada orang tua -teringat pesan ibu saya, 'buat ngelegain papah, biar ngapa-ngapainnya lancar dan dapet ridho!' dan pemikiran : gila aja, anak apaan gW! masa gW tega liat bokap gW ngapa-ngapain sendirian!- jadilah saya mendamparkan ke wTs ini sendirian, bersama ayah saya tentunya untuk membantu beliau bekerja, seikhlas mungkin.

kemarin sore diisi dengan jatah saya mengecat tembok depan rumah kakek. karena kurangnya pengalaman, yang saya dapat hanyalah komentar dari ayah saya : halah! kok belepotan kemana-mana, sedang saya sendiri berkata : lumayan! -menghargai hasil pekerjaan sendiri! :D-. pekerjaan itu saya lakukan dari siang sampai sore.

hari ini, kamis, saya kebetulan berpuasa, masih melanjutkan acara mengecat saya ~komentar sang ayah masih sama saja!~ dan kemudian dilanjutkan dengan mengepel rumah.
rumah ini terlalu lama tidak ditinggali, sehingga aneka satwa dan tumbuhan liar setebal beberapa milimeter bertebaran rata selebar luas lantai, kusen, dinding, hingga membuat jendela buram. alamat bebersih seperti waktu hampir lebaran! dan disini saya berpikir Allah Maha Adil. dibebastugaskannya saya dari acara bebersih bersama keluarga lebaran kemarin tidak membuat saya bebas selamanya! dikirimkanlah saya pada liburan semester untuk membersihkan aneka satwa dan tumbuhan liar di rumah ini sendirian! tanpa oNenk, kiki, atau mamah! tunai! dan hanya ada saya dan papah.

selalu ada ayah yang ikhlas mengajari anak-anaknya. ya, disamping pendiemnya ayah saya, saya akui ayah saya adalah ayah yang bertanggung jawab dan ikhlas. akan ada ayah yang bersedia memasukkan motor anaknya setiap malam ~untuk malam tadi! karena belum semenit yang lalu ayah saya menyuruh saya melakukannya!~, akan ada ayah yang bersedia mengecat dan menambal bagian tak rata yang ditinggalkan anaknya, bukan karena tidak menghargai hasil kerja anaknya, dan bukan karena lantas ayah saya malas, lalu kemudian menyuruh saya, tetapi lebih ke : gini lho, cara ngecat yang bener! yang rata, tipis tapi rapi, dan enggak belepotan! akan ada ayah saya dengan biskuit kelapa favoritnya menawari saya makan, selalu memperhatikan saya dengan begitu baik, juga dengan sesi berbagi cerita dengan ibu setiap pagi atau sore sewaktu dulu ayah saya pulang bekerja, membagi pengalaman dan mengambil hikmah dari setiap kejadian, dan kemudian menanyakan kabar anak-anaknya. apakah oNenk sudah berhenti menangis gara-gara pilihan kuliahnya, apakah kiki masih malas belajar.
ya, beliau lelaki pendiam sebenarnya. tapi terlepas dari itu semua, terlepas dari ayah saya yang kalo ngomong kadang suka nylekit, suka seenaknya sendiri kalo ngapa-ngapain -tapi seringnya penuh perhitungan! saya akui!- dan buta seni ~ibu saya kadang masih suka mengeluhkan desain rumah yang aneh dan terlampau biasa~, ayah saya adalah ayah nomer satu buat saya! ayah yang bertanggung jawab menopang hidup orang satu atap dari dahulu hingga kini dan nanti!
ya, dan akan ada ayah saya yang rela memotong kayu bakar untuk tungku memasak nenek saya, dan membetulkan gerobak kakek saya!
ya, saya bangga akan ayah saya.

tentang kakek saya.
sore tadi kita duduk bersama. saya, ayah, dan kakek. terpikir oleh saya untuk membuat potret berjudul 'Tiga Generasi' dan kita mengobrol santai. lelaki senja itu kian legam saja kulitnya, bermandi matahari dosis tinggi setiap hari untuk mengurus sawah. bertanya pada saya yang baru pulang dari warnet : kamu habis uang berapa tadi?
saya jawab : lima ribu mbah! dan saya pun duduk disebelah beliau
beliau : oh, bukannya satu jamnya tiga ribu yah? ramai disana pasti, orang sampe malem juga koq! tapi kalau buat begituan pasti butuh biaya banyak, untuk komputernya, untuk listriknya ya?
saya : iya ~sembari berpikir : wuih, si mbah gaull!! hehehe..~
beliau : kalau disana, kamu sih ngapain aja? komputernya diapain?
*gubrak!!
dan nyatanya mustahil untuk saya menerangkan facebook, twitter, blog, browsing hingga chatting pada lelaki uzur polos dan sederhana itu, yang menghabiskan seluruh hidupnya di sawah.
jawaban yang keluar dari saya hanya : cuma mainan aja kok mbah.
beliau : bahasanya pake bahasa apa to?
saya : inggris banyak, indonesianya ada.
~owkeyh kakek! kapan-kapan kita kewarnet! kita fesbukan! nanti saya bikinkan akun fesbuk!! hehehe..~
dan obrolan kita mengalir ke bagaimana kuliah saya, kos-kosan setahun berapa, makan bagaimana, oNenk kiki kelas berapa,
juga teteh...

ya, saya benar-benar harus berhenti sejenak memikirkan prinsip stratigrafi untuk mengobrol dengan lelaki yang perhatian ini.!
terlintas di benak saya untuk menghabiskan hari-hari tua saya di perdesaan, membicarakan damai dan sederhana, bertani kalau perlu, menatap senja bersama istri saya yang sudah nenek-nenek, bercengkerama dengannya ~walaupun saya lihat silang pendapat antara kakek dan nenek saya itu romantis, lucu, dan berseni! karena akan ada yang mengalah duluan setelahnya.!~, hingga saya berpikir : pada saat saya jadi kakek, wajah perdesaan itu seperti apa?! saat pemuda seangkatan saya saat ini ramai-ramai berurban?

Tidak ada komentar: